Search
10 Feb 2013
SUARA DARI LANGIT
MUSIM KEMARAU sedang dalam puncaknya. Hujan sudah lama tidak turun. Panas
matahari membuat bumi kering dan retak-retak. Orang-orang mengkhawatirkan kebun
dan tanaman mereka. Jika keadaan terus berlangsung, mereka tidak akan menemukan
bahan makanan dan minuman. Kambing, sapi, unta, dan ternak mereka juga tidak
akan mendapatkan makanan dan minuman. Akhirnya, adalah kematian.
Orang-orang memandang
ke langit. Mereka tidak menemukan setitik mendung pun yang memberikan tanda
hujan akan turun. Orang-orang sedih. Mereka berdo’a kepada Allah agar
menurunkan hujan.
Seorang lelaki dari
mereka berkata, “Aku akan pergi ke daerah selatan. Aku ada satu urusan penting
disana.”
Lelaki itupun
melewati padang pasir. Jalan yang membelah padang pasir itu sepi. Tidak satu
orang pun lewat disana kecuali dirinya. Panas terasa menyengat. Sesekali, angin
kencang bertiup membuat debu dan pasir panas beterbangan. Ia terus berjalan ke
selatan.
Ditengah perjalan,
dia merasa ada sesuatu yang bergerak dilangit. Lalu, dia memandang ke langit
dan melihat awan perlahan-lahan berkumpul, hingga menjadi mendung. Mendung itu,
semakin lama semakin tebal, seolah mau menutupi seluruh langit. Bukan main
gembira hati lelaki itu saat melihat mendung tebal itu.
“Sebentar lagi akan
turun hujan,”katanya dalam hati.
Tiba-tiba, lelaki itu
mendengar suara dari langit,”Siramilah kebun Saleh!”
Dia nyaris tidak
percaya dengan apa yang ia dengar. Lelaki itu terus berjalan sambil berpikir
darimana datangnya suara itu. Siapa yang berkata tadi?
Tidak lama setelah
itu, ia kembali mendengar suara menggelegar dari arah mendung yang
menggumpal-gumpal,”Siramilah kebun saleh!”
Seketika, lelaki itu
menghentikan langkahnya. Dia memandang kearah sekitar. Namun, dia tidak
menemukan siapapun, kecuali bentangan padang pasir yang Mahaluas.
Lelaki itu berkata
kepada dirinya sendiri,”Ya Ilahi! Disini tidak ada orang selain diriku, apakah
suara itu benar-benar dating dari sana, dari arah mendung itu? Atau aku sedang
berkhayal yang bukan-bukan?”
Tiba-tiba, lelaki itu
mendengar suara menggema untuk yang ketiga kalinya, “Siramilah kebun Saleh!”
Mendung itu lalu
bergumpal-gumpal. Beberapa awan yang masih tercecer, perlahan menyatu.
Kemudian, mulailah gerimis turun, dan menjadi hujan yang lebat.
Lelaki itu berkata,
“Subhanallah, suara itu datang dari sela-sela mendung. Aku yakin itu.”
Air yang turun ke
bumi itu bertemu dalam satu aliran. Lama kelamaan aliran itu membesar hingga
menjadi selokan yang mengalir deras. Air itu berjalan menuju ke suatu tempat.
Lelaki itu terus mengikuti jalannya air. Dia ingin tahu kemana air itu hendak
pergi. Akhirnya, air itu berhenti dan menggenangi kebun seorang petani. Petani
itu lalu mengatur air yang datang untuk menyirami tanaman yang ada dikebunnya
secara merata.
Lelaki itu mendekati
petani yang berpakaian sederhana itu. Dia menanyakan namanya.
Si petani menjawab,
“Nama saya saleh.”
Betapa terkejutnya
lelaki itu, karena nama itu sama dengan yang disebut oleh suara dari langit
tadi.
Petani itu balik
bertanya, “Mengapa kau menanyakan namaku?”
Lelaki itu lalu
menceritakan kisah suara yang ia dengar dari sela-sela mendung, dan menyebut
namanya. Lalu, dia menceritakan juga tentang mendung yang bergumpal-gumpal,
hingga turun hujan. Air hujan berkumpul menjadi aliran, dan mengalir sampai
dikebunnya.
Usai bercerita,
lelaki itu bertanya kepada petani itu, “Tolong katakanlah kepadaku wahai petani
yang baik, apa yng kau perbuat dengan kebunmu?”
Petani bernama Saleh
itu menjawab, “Karena kau bertanya, baiklah aku jawab. Setelah aku menjual
hasil kebunku dan mendapatkan uang. Uang itu sepertiganya aku sedekahkan
kepada fakir miskin. Aku dan keluargaku makan sepertiga, yang sepertiga untuk
biaya perawatan kebun.”
Lelaki itu lalu berkata kepada
pak petani, “Sekarang aku baru tahu, mengapa suara yang datang dari balik
mendung itu berkata, “Siramilah kebun Saleh!” Wahai petani yang baik, Allah
memberkahi bumimu, kebunmu, tanamanmu, dan rezekimu!”
DIMANA ALLAH
Padang Pasir membentang
luas. Matahari bersinar menyala seolah hendak membakar ubun-ubun kepala. Di
sebuah jalan ynag membelah padang pasir, tampak seseorang berjubah putih sedang
berjalan kelelahan. Orang itu tak lain adalah Abdullah bin Umar ra, salah
seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, yang terkenal kealiman (tinggi ilmu) dan
kezuhudannya (sederhana). Dia sedang berjalan keluar dari Madinah menuju Makkah
untuk beribadah di Baitullah.
Berkali-kali Abdullah bin Umar ra
menghentikan langkahnya sesaat, untuk meminum seteguk air perbekalannya. Namun
sayang, kantong airnya telah kering kerontang. Dia benar-benar kehausan. Dia
melihat ke sekelilingnya, siapa tahu ada orang Badui atau pengembala yang bisa
memberinya seteguk air penawar dahaga. Namun, sejauh mata memandang, yang dia
temukan hanyalah warna kecoklatan samudera pasir.
Dia tetap bersabar dan terus berjalan,
sampai akhirnya matanya menangkap beberapa titik-titik hitam dan putih di
kejauhan sana, dibalik bukit pasir. Hatinya merasa lega, berkali-kali dia
mengucapkan syukur Alhamdulillah. Dia yakin, titik hitam dan putih itu adalah
manusia. Abdullah terus melangkahkan kaki untuk mendekati titik hitam dan putih
itu. Ketika sudah dekat, perkiraannya tidak meleset. Titik-titik hitam dan
putih itu adalah seorang pengembala dan kambing-kambingnya.
Ketika Abdullah bin Umar ra sudah berada
tak jauh dari pengembala itu, tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk menguji
pengembala itu. Dia ingin tahu, apakah ajaran Islam telah sampai ke tengah
padang pasir yang terpencil jauh itu? Dia juga ingin tahu, apakah pengembala
itu telah menerima ajaran suci yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin
Umar berkata kepada pengembala yang masih bocah itu, “Hai Bocah, aku ingin
membeli seekor kambing yang kau gembalakan ini. Bekalku sudah habis.”
“Maaf Tuan, aku hanyalah seorang budak
yang bertugas mengembalakan kambing-kambing ini. Aku tidak bisa menjualnya. Ia
bukan milikku tapi milik majikanku. Aku tidak diberi wewenang untuk
menjualnya,”jawab pengembala kambing itu.
“Ah, itu masalah yang mudah. Begini, kau
jual seekor saja kambing gembalaanmu padaku. Kambing yang kau jaga itu sangat
banyak, tentu sangat sulit bagi pemiliknya untuk menghitung jumlahnya. Atau,
kalaupun dia tahu ada seekor kambingnya tidak ada, bilang saja telah dimangsa serigala
padang pasir. Mudah sekali, bukan? Kau pun bisa membawa uangnya, “bujuk
Abdullah bin Umar ra dengan wajah yang tampak serius.
“Lalu, dimana Allah? Pemilik kambing ini
memang tidak akan tahu dan bisa dibohongi, tetapi Dzat yang Maha tahu, yang pasti
melihat dan mengetahui apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak
ada?“jawab pengembala itu mantap.
Sungguh, jawaban itu memebuat Abdullah
bin Umar tersentak kaget.
“Aku tidak diberi kuasa oleh pemilik
kambing ini untuk menjualnya. Aku hanya diperbolehkan mengembalakannya dan
meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan member minum para musafir
yang kehausan,” sambung pengembala itu.
Dia berkata begitu sambil berjongkok,
memerah susu seekor kambing ke dalam sebuah mangkuk. Begitu penuh berisi susu,
dia memberikannya pada Abdullah bin Umar.
“Minumlah Tuan, kulihat anda kehausan.
Jika masih kurang, bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu itu
halal sebab pemiliknya menyuruh aku untuk membberi minum musafir yang
membutuhkan,’ kata pengembala itu dengan tutur kata yng halus dan ramah.
Abdullah bin Umar menerima mangkuk
berisi susu itu dengan hati terharu. Dia minum sampai rasa hausnya hilang.
Setelah itu, dia mohon diri.
Dijalan, dia tidak bisa menyembunyikan
tangisnya, teringat kata-kata pengembala itu, “Dimana Allah? Apakah kau kira
Allah tidak ada?”
Abdullah bin Umar menangis mengingat
bahwa seorang pengembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal,
ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Dia memiliki kejujuran yang
tinggi. Hatinya menyinarkan keimanan. Akhlaknya sungguh mulia. Ajaran
Rasulullah Saw telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar terus
melangkahkan kaki sambil bercucuran air mata.
Lalu, Abdullah bin Umar mencari kampong
terdekat dan menanyakan, siapakah tuan dari sang pengembala kambing itu?
Begitu berjumpa, Abdullah bin Umar
langsung membeli budak itu dan langsung memerdekakannya.
Seorang manusia yang jujur dan memiliki rasa
ketakwaan kepada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba
sahaya manusia. Dia hanya pantas menjadi hamba Allah Swt.
Langganan:
Postingan (Atom)