MUSIM KEMARAU sedang dalam puncaknya. Hujan sudah lama tidak turun. Panas
matahari membuat bumi kering dan retak-retak. Orang-orang mengkhawatirkan kebun
dan tanaman mereka. Jika keadaan terus berlangsung, mereka tidak akan menemukan
bahan makanan dan minuman. Kambing, sapi, unta, dan ternak mereka juga tidak
akan mendapatkan makanan dan minuman. Akhirnya, adalah kematian.
Orang-orang memandang
ke langit. Mereka tidak menemukan setitik mendung pun yang memberikan tanda
hujan akan turun. Orang-orang sedih. Mereka berdo’a kepada Allah agar
menurunkan hujan.
Seorang lelaki dari
mereka berkata, “Aku akan pergi ke daerah selatan. Aku ada satu urusan penting
disana.”
Lelaki itupun
melewati padang pasir. Jalan yang membelah padang pasir itu sepi. Tidak satu
orang pun lewat disana kecuali dirinya. Panas terasa menyengat. Sesekali, angin
kencang bertiup membuat debu dan pasir panas beterbangan. Ia terus berjalan ke
selatan.
Ditengah perjalan,
dia merasa ada sesuatu yang bergerak dilangit. Lalu, dia memandang ke langit
dan melihat awan perlahan-lahan berkumpul, hingga menjadi mendung. Mendung itu,
semakin lama semakin tebal, seolah mau menutupi seluruh langit. Bukan main
gembira hati lelaki itu saat melihat mendung tebal itu.
“Sebentar lagi akan
turun hujan,”katanya dalam hati.
Tiba-tiba, lelaki itu
mendengar suara dari langit,”Siramilah kebun Saleh!”
Dia nyaris tidak
percaya dengan apa yang ia dengar. Lelaki itu terus berjalan sambil berpikir
darimana datangnya suara itu. Siapa yang berkata tadi?
Tidak lama setelah
itu, ia kembali mendengar suara menggelegar dari arah mendung yang
menggumpal-gumpal,”Siramilah kebun saleh!”
Seketika, lelaki itu
menghentikan langkahnya. Dia memandang kearah sekitar. Namun, dia tidak
menemukan siapapun, kecuali bentangan padang pasir yang Mahaluas.
Lelaki itu berkata
kepada dirinya sendiri,”Ya Ilahi! Disini tidak ada orang selain diriku, apakah
suara itu benar-benar dating dari sana, dari arah mendung itu? Atau aku sedang
berkhayal yang bukan-bukan?”
Tiba-tiba, lelaki itu
mendengar suara menggema untuk yang ketiga kalinya, “Siramilah kebun Saleh!”
Mendung itu lalu
bergumpal-gumpal. Beberapa awan yang masih tercecer, perlahan menyatu.
Kemudian, mulailah gerimis turun, dan menjadi hujan yang lebat.
Lelaki itu berkata,
“Subhanallah, suara itu datang dari sela-sela mendung. Aku yakin itu.”
Air yang turun ke
bumi itu bertemu dalam satu aliran. Lama kelamaan aliran itu membesar hingga
menjadi selokan yang mengalir deras. Air itu berjalan menuju ke suatu tempat.
Lelaki itu terus mengikuti jalannya air. Dia ingin tahu kemana air itu hendak
pergi. Akhirnya, air itu berhenti dan menggenangi kebun seorang petani. Petani
itu lalu mengatur air yang datang untuk menyirami tanaman yang ada dikebunnya
secara merata.
Lelaki itu mendekati
petani yang berpakaian sederhana itu. Dia menanyakan namanya.
Si petani menjawab,
“Nama saya saleh.”
Betapa terkejutnya
lelaki itu, karena nama itu sama dengan yang disebut oleh suara dari langit
tadi.
Petani itu balik
bertanya, “Mengapa kau menanyakan namaku?”
Lelaki itu lalu
menceritakan kisah suara yang ia dengar dari sela-sela mendung, dan menyebut
namanya. Lalu, dia menceritakan juga tentang mendung yang bergumpal-gumpal,
hingga turun hujan. Air hujan berkumpul menjadi aliran, dan mengalir sampai
dikebunnya.
Usai bercerita,
lelaki itu bertanya kepada petani itu, “Tolong katakanlah kepadaku wahai petani
yang baik, apa yng kau perbuat dengan kebunmu?”
Petani bernama Saleh
itu menjawab, “Karena kau bertanya, baiklah aku jawab. Setelah aku menjual
hasil kebunku dan mendapatkan uang. Uang itu sepertiganya aku sedekahkan
kepada fakir miskin. Aku dan keluargaku makan sepertiga, yang sepertiga untuk
biaya perawatan kebun.”
Lelaki itu lalu berkata kepada
pak petani, “Sekarang aku baru tahu, mengapa suara yang datang dari balik
mendung itu berkata, “Siramilah kebun Saleh!” Wahai petani yang baik, Allah
memberkahi bumimu, kebunmu, tanamanmu, dan rezekimu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar